Senin Sharing by :
Andi Abdulqodir
Creative Director di Tujusemesta Creative Space, Pengajar di DKV ITENAS
Redesign adalah mendesain kembali sebuah karya dari desain yang sudah ada. Tahap me-redesign memiliki range yang beragam, dari hanya mengubah desainnya saja dan menggunakan konsep yang terdahulu, hingga mengubah konsep secara keseluruhan. Semua jenis desain dapat melalui proses redesign. Namun kali ini, kita akan bahas mengenai implementasinya dalam brand; terutama dari segi visualnya.
Redesign brand atau rebranding biasanya dibutuhkan ketika perusahaan tersebut berkembang, berubah haluan, atau sekadar memperbarui atau mengangkat citra perusahaan. Salah satu perusahaan yang sering kita amati dalam memperbarui desain logonya adalah Starbucks.
Pembaruan logo bagi sebuah perusahaan akan membuat perusahaan tersebut terasa lebih segar dan baru. Namun berbeda halnya ketika proses redesign dilakukan untuk sesuatu yang memiliki hubungan dengan massa, apalagi jika massa tersebut memiliki sense of belonging yang besar terhadapnya. Sehingga ketika ada perubahan, maka itu menyangkut perasaan mereka juga. Salah satu contoh adalah redesign logo Jogja.
Sebuah perusahaan bergengsi di Jakarta, menggunakan konsep yang sangat baik untuk me-redesign logo DIY Jogja. Dengan tagline baru yang berbunyi “a whole new life“, brand baru ini mengangkat semangat Yogyakarta Renaisans. Logo sangat adaptif dan bisa dikondisikan dalam berbagai aplikasi “life“, misalnya a whole new creativity, a whole new culture, a whole new civilization, dsb. Warna logo juga dapat disesuaikan untuk kabupaten dan kotamadya : merah untuk kotamadya Yogyakarta, biru untuk kabupaten Sleman, hijau untuk Kab. Gunungkidul, kuning untuk kab. Bantul, hitam untuk Kab. Kulon Progo. Logo juga bisa disesuaikan untuk berbagai segmen, bahkan berbagai perayaan dan aplikasi teknis.
Namun, ketika hal ini dipublikasikan, ternyata masyarakat Yogyakarta tidak menerima dengan baik. Beberapa alasan penolakannya adalah :
- tidak mencirikan khas Kota Jogja,
- penggunaan tagline berbahasa inggris tidak mengangkat lokalitas,
- pemilihan tipografi yang tidak tepat sehingga sering salah terbaca “TOGUA”.
Dari problematika ini, masyarakat Jogja kemudian berembuk dan mengadakan sebuah forum “Jogja Darurat Logo!”, yang dihadiri oleh budayawan lokal, sesepuh yang dihormati masyarakat Jogja, dan masyarakat Jogja sendiri. Urun rembug ini menghasilkan sebuah logo baru yang lebih diterima oleh masyarakat Jogja.
Logo baru ini menggunakan huruf kecil yang merepresentasikan egaliterisme, kesederajatan, dan persaudaraan. Tipografinya juga diadaptasi dari huruf “hanacaraka”, yang dekat dengan masyarakat Jogja yang sangat memegang teguh budayanya. Taglinenya juga menjadi “Jogja Istimewa”. Konsep keseluruhan logo bisa dilihat di sini :
Hal yang sama juga terjadi pada logo ke-18 Asian Games, yang akan berlangsung di Jakarta-Palembang pada 2018. Bentuk logo yang sudah didesain, tidak disetujui oleh masyarakat Indonesia hingga aspirasi ini dibuat petisinya dalam change.org.
Dari konsep sebelumnya yang berupa burung, kini konsep baru merepresentasikan bentuk stadium Gelora Bung Karno berupa cincin. Warna-warni pada logo tersebut menandakan beragam negara yang terkumpul di Asia. Emblem Asian Games berupa matahari pada bagian dalam cincin, dikelilingi delapan pilar yang menandakan kedelapan pintu kompleks Gelora Bung Karno. Penempatan pilar yang menuju pada emblem Asian Games merupakan gambaran pengharapan apabila setiap negara Asia bersatu dalam Asian Games ke-18 tersebut, layaknya sinar matahari, sebuah energi akan terpancar ke seluruh penjuru dunia memperlihatkan kekuatan negara Asia. Hadir dengan logo yang baru, brand Asian Games ke-18 tampak lebih festive dengan konsep yang mewakili tuan rumah.
Satu pembahasan lagi mengenai rebranding adalah logo Juventus. Bagi anda penggemar sepak bola Italia, pasti sempat mendengarnya. Logo baru mengkombinasikan bentuk perisai, hitam-putih, dan inisial “J”. Aplikasinya sangat seru dan cukup kuat untuk bersanding dengan logo lainnya.
Namun, ternyata tidak semua Juventini menerima logo tersebut. Beberapa bahkan secara ekstrim menolak hingga membuat meme-meme yang tidak pantas. Jika kamu seorang penggemar sepak bola, pasti memahami rasanya menjadi fanatik ketika logo kebanggaannya diganti. Niat management Juventus untuk menyasar target market yang lebih luas justru jadi kehilangan fans-fans setianya.
Dalam beberapa kondisi, me-redesign logo tidak hanya sekadar mengubah konsep dan bentuk, tetapi kita perlu melihat lebih jauh ke sekelilingnya. Pada siapa logo tersebut berinteraksi, dan apa citra yang telah tertanam di benak mereka. Diperlukan strategi yang tidak lagi mempertimbangkan sisi phragmatis dan marketing, tetapi juga mendengarkan kebutuhan emosional publiknya. Seperti forum group discussion, menerima saran dari orang yang memahami di bidang tersebut. Budaya masyarakat yang sudah tertanam, jangan sampai “dilangkahi”. Sebagaimana seorang desainer harus pentingkan, yakni usernya, bukan ego dirinya.